Minggu, 06 Desember 2009

MODEL-MODEL DIAKONIA

Tiga model pendekatan pelayanan DIAKONIA (karitatif, reformatif dan transformatif)

(1).Diakonia Karitatif.
Suatu masyarakat terdiri atas struktur : yang kaya dan yang miskin. Situasi ini tidak dapat diubah. Yang dapat dilakukan oleh gereja adalah membantu yang miskin agar menjadi sedikit lebih baik dan mengurangi penderitaan mereka. Kemiskinan tidak dapat dibasmi. Yang bisa terjadi adalah : yang kaya berperan sebagai penderma dan yang miskin berperan sebagai pengucap terima kasih.
Tindakan yang dilakukan tampak dalam memberikan dan meningkatkan bantuan bagi yang miskin. Cara ini menimbulkan ciri-ciri :
- a. Menimbulkan sikap ketergantungan ; tidak memandirikan;
- b.Terdapat hubungan subjek-objek;
- c. Bila dilakukan terus-menerus akan memerlukan dana yang besar;
- d. Tidak menyentuh akar masalah, sekedar memberi ikan; e. Tepat untuk situasi darurat sebagai bantuan awal;
- f. Terarah kepada individu yang sulit berubah keadaannya, meski dibantu.

Model ini adalah model tertua dari bentuk pelayanan gereja yang dilakukan, dan sampai saat ini
masih juga dilakukan. Pelayanan ini cepat dirasakan manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi
darurat yang amat mendesak dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera, misalnya bencana alam. Bentuknya misalnya bantuan kepada janda atau warga jemaat yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pemberian beras, uang.

(2). Diakonia Reformatif.
Kemiskinan pada hakekatnya dikurangi bahkan dapat dihapuskan. Kemiskinan antara lain disebabkan oleh kurangnya pendayagunaan potensi manusia dan alam. Kurangnya pendayagunaan potensi manusia dan alam disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan penguasaan teknologi. Oleh sebab itu, pengembangan dan pendayagunaan potensi manusia dan alam dalam rangka penghapusan kemiskinan, pada hakekatnya dapat diupayakan melalui peningkatan pendidikan dan penguasaan teknologi. Tindakan yang dilakukan misalnya, membangun sekolah-sekolah dan menyelenggarakan pengembangan SDM, membangun rumah sakit dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan, menyiapkan dan menyalurkan bantuan teknologi melalui penyuluhan dan pembinaan keterampilan, serta mengusahakan/ menyediakan modal kerja bagi para tani dan buruh agar dapat meningkatkan produksitivitasnya.
Adapun ciri-cirinya :
- a. Orientasi pelayan dibidang pendidikan, kesehatan, perkoperasian, dan usahausaha
untuk peningkatan penghasilan;
b. Solidaritas kelompok mulai ditumbuhkan;
c. Memerlukan tenaga terampil dan sesuai dengan program;
d. Lebih menyentuh akar permasalahan dan dampaknya lebih bersifat jangka panjang;
e. Biasanya melengkapi program pemerintah.

Model kedua ini merupakan pengembangan diakonia karitatif yang dirasakan tidak dapat menjawab persoalan untuk jangka panjang. Setelah banjir atau longsor berlalu, dan persediaan sembako habis, lalu subyek yang dilayani mau apa? Apakah mereka hanya makan dan cukup gizi pada bulan Desember ketika ada pasar murah untuk mereka?
Model diakonia ini lebih menekankan aspek pembangunan, daripada sekadar tindakan karitas-amal kasih semata-mata. Pendekatan yang dilakukan memakai pola Community Development (CD) dengan pengembangan masyarakat seperti pembangunan kesehatan dan penyuluhannya, kelompok usaha bersama dengan kelompok simpan pinjam, pemberian beasiswa untuk pendidikan.
Akibatnya, muncul kesadaran gereja untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan memikirkan persoalan kemasyarakatan lainnya. Gereja tidak lagi mau menjadi menara gading untuk dirinya sendiri. Ada masalah-masalah sosial yang muncul dipermukaan, yang harus diatasi seperti terjadinya diskriminasi, ketidakadilan internasional, dan tugas-tugas politik gereja membangun kesejahteraan umat manusia. Maka diakonia gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif ke diakonia reformatif, termasuk Gereja-gereja di Indonesia(termasuk GKJ PURWOREJO)


(3). Diakonia Trasformatif.
Pelayanan transformatif sekarang sangat dibutuhkan. Bahkan kenyataannya di beberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang. muncul sebagai alternatif ke tiga menjawab permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya dipelopori oleh gereja Amerika Latin mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana.
Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental ketergantungan); juga tidak cukup, kalau kita memberinya pancing atau pacul untuk mencangkul, karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengail dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut dimiliki kaum pemilik modal yang mempunyai kapital?
Karena itu berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan perberdayaan bagi mereka. Pendekatan yang dilakukan adalah pola Community Organization (CO) dengan pendekatan pengorganisasian komunitas untuk dapat merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri. Peran gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal. Maka teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang gereja) dan merefleksikan gereja secara kontekstual. Tokoh yang berperanan di antaranya adalah Gustavo GutiƩrrez dengan pendekatan ortopraksis. Digunakannya analisis sosial budaya masyarakat, analisis SWOT dan perencanaan partisipatif dan melakukan jejaring dengan institusi sosial yang ada, dan melakukan monitoring dan evaluasi partisipatif. Pelayanan transformatif bukan mau menciptakan oposisi bagi pemerintah dan penguasa, tetapi menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas kehidupan yang lebih baik.
Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali peran gereja dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang statis, melainkan sebagai suatu "gerakan" yang terbuka bagi pembaharuan (agent of change) dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah.
Karena itu gereja tidak harus menjadi besar dan megah fisiknya, melainkan nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam seluruh sendi kehidupan manusia Titik berangkat teologi pembebasan a la GutiƩrrez adalah gereja dan hubungannya dengan dunia di Amerika Latin. Guna memindahkannya ke dunianya, gereja memerlukan sebuah pemahaman baru dalam sifat dasar dan misinya.
Dan dengan pemahaman ini pula fungsi pembebasan gereja tampak dalam tiga tingkatan : pembebasan politik yang mengakomodasi golongan miskin dan tertindas; pembebasan sebagai sebuah pemahaman akan sejarah, dengan orang menyadari dan dapat melihat masa depannya secara bertanggungjawab; dan pembebasan oleh Kristus dari dosa, akar dari segala kebobrokan hubungan manusia, ketidakadilan dan penindasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar